Jum’at, 31 Mei 2024, Masyarakat Indonesia dibuat kaget oleh fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai larangan umat islam untuk mengucapkan selamat hari raya kepada umat beragama lain.
Pro-kontra tentang ucapan selamat hari raya sudah berulang kali terjadi di kalangan umat islam khususnya di Indonesia. Perdebatan itu wajar apabila tidak menemui titik terang karena para ulama terdahulu pun juga tidak satu suara mengenai hal ini, dikarenakan di Al-Qur’an sendiri tidak ada satupun ayat yang secara terang-terangan menyebutkan larangan tersebut. Namun, perdebatan itu menjadi tidak wajar ketika kemudian difatwakan dan menguatkan kotak-kotak antar umat beragama.
Sebenarnya, tidak ada yang butuh ucapan selamat hari raya. Umat Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu dan agama-agama lain pun tidak pernah berkurang iman mereka hanya karena tidak mendapatkan ucapan selamat hari raya.
Manusia sebagai makhluk sosial tentu memerlukan interaksi dan interaksi sosial tidak bisa dilepaskan dari manusia, sebagaimana disampaikan oleh Ayu Ma’as (2022). Mengucapkan selamat hari raya antar sesama umat beragama tentu menjadi bagian dari interaksi sosial dan terlalu suudzon ketika menjustifikasi bahwa mengucapkan selamat natal misalnya, berarti kita lantas mengimani Yesus Kristus. Orang Kristen sendiri perlu banyak tahapan untuk menuju baptis, jadi, mustahil rasanya kalau sebatas mengucapkan selamat, lantas kita menjadi Kristen.
Indonesia merupakan negara yang DNA-nya adalah keberagaman. Setiap jengkal wilayah di Indonesia selalu memuat keberagaman. Manusia-manusia Indonesia juga menjujung tinggi gotong royong tanpa sekat suku, ras, budaya bahkan agama. Tentu mengucapkan selamat hari raya adalah bagian kehidupan masyarakat Indonesia yang bukan untuk menurunkan iman atau menggoyahkan akidah, tetapi justeru semakin merekatkan relasi antar sesama manusia.
Dengan adanya aktivitas saling mengucapkan selamat hari raya, tidak hanya hubungan sosial yang semakin erat, namun ada pelaku-pelaku usaha yang juga menerima manfaat. Penjaja parcel dan karangan bunga misalnya, mereka tentu akan mendapat pesanan yang lebih banyak pada momen-momen hari raya begitu pula para pelaku usaha transportasi yang selalu menerima penumpang lebih banyak pada momen-momen hari raya keagamaan.
MUI sebagai lembaga yang diisi oleh para intelektual di bidang agama, tentu sah-sah saja mengeluarkan fatwa. Namun, MUI juga harus selalu ingat bahwa beragamnya masyarakat di Indonesia tentu akan menimbulkan banyak tafsir atas fatwa yang dikeluarkannya. Akan sangat berbahaya ketika fatwa itu secara spontan dimaknai sebagai landasan untuk umat islam merasa eksklusif dan berujung mengganggu kegiatan-kegiatan keagamaan milik umat lain di Indonesia.
Selain itu, kita sebagai umat islam juga tidak boleh lupa bahwa perihal mengucapkan selamat hari raya adalah hal yang Ijtihadi sehingga tidak boleh ada pihak yang mengklaim pendapatnya sebagai sebuah kebenaran mutlak dan pendapat selainnya adalah salah.
Kita harus bijaksana menyikapi setiap hal yang ada, urusan mau mengucapkan atau tidak sebaiknya dikembalikan kepada pribadi masing-masing, namun tanpa dorongan ataupun paksaan yang memicu perseteruan.
Biarkan yang hendak mengucapkan melakukannya pun yang tidak mau mengucapkan juga silakan tetapi tidak perlu dengan embel-embel mengolok-olok yang berbeda pendapat. Karena sekali lagi ditegaskan, untuk menjadi orang Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu dan agama lainnya tidak pernah sesimple kita mengucapkan selamat hari raya saja.
Yang jelas, sebagai manusia Indonesia kita harus malu apabila berseteru hanya karena perbedaan-perbedaan pendapat yang tidak substantif dan tidak membawa kemajuan untuk bangsa. Manusia Indonesia harus beragama dengan gembira dan tanpa adanya intimidasi dalam bentuk apapun agar Bhinneka Tunggal Ika tidak berubah menjadi Bhinneka Tinggal Asa.





