Writy.
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Writy.
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Writy.
Siapa, Butuh Ucapan Selamat Hari Raya?

Siapa, Butuh Ucapan Selamat Hari Raya?

Dewi Praswida Oleh Dewi Praswida
2 Juni 2024
di Artikel
0
Share on FacebookShare on Twitter

Jum’at, 31 Mei 2024, Masyarakat Indonesia dibuat kaget oleh fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai larangan umat islam untuk mengucapkan selamat hari raya kepada umat beragama lain.

Pro-kontra tentang ucapan selamat hari raya sudah berulang kali terjadi di kalangan umat islam khususnya di Indonesia. Perdebatan itu wajar apabila tidak menemui titik terang karena para ulama terdahulu pun juga tidak satu suara mengenai hal ini, dikarenakan di Al-Qur’an sendiri tidak ada satupun ayat yang secara terang-terangan menyebutkan larangan tersebut. Namun, perdebatan itu menjadi tidak wajar ketika kemudian difatwakan dan menguatkan kotak-kotak antar umat beragama.

Baca Juga

Cyber Counseling Versus Cyber Bullying

SKB dan Mayoritarianisme yang membelenggu Rumah Ibadah

Sebenarnya, tidak ada yang butuh ucapan selamat hari raya. Umat Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu dan agama-agama lain pun tidak pernah berkurang iman mereka hanya karena tidak mendapatkan ucapan selamat hari raya.

Manusia sebagai makhluk sosial tentu memerlukan interaksi dan interaksi sosial tidak bisa dilepaskan dari manusia, sebagaimana disampaikan oleh Ayu Ma’as (2022).  Mengucapkan selamat hari raya antar sesama umat beragama tentu menjadi bagian dari interaksi sosial dan terlalu suudzon  ketika menjustifikasi bahwa mengucapkan selamat natal misalnya, berarti kita lantas mengimani Yesus Kristus. Orang Kristen sendiri perlu banyak tahapan untuk menuju baptis, jadi, mustahil rasanya kalau sebatas mengucapkan selamat, lantas kita menjadi Kristen.

Indonesia merupakan negara yang DNA-nya adalah keberagaman. Setiap jengkal wilayah di Indonesia selalu memuat keberagaman. Manusia-manusia Indonesia juga menjujung tinggi gotong royong tanpa sekat suku, ras, budaya bahkan agama. Tentu mengucapkan selamat hari raya adalah bagian kehidupan masyarakat Indonesia yang bukan untuk menurunkan iman atau menggoyahkan akidah, tetapi justeru semakin merekatkan relasi antar sesama manusia.

Dengan adanya aktivitas saling mengucapkan selamat hari raya, tidak hanya hubungan sosial yang semakin erat, namun ada pelaku-pelaku usaha yang juga menerima manfaat. Penjaja parcel dan karangan bunga misalnya, mereka tentu akan mendapat pesanan yang lebih banyak pada momen-momen hari raya begitu pula para pelaku usaha transportasi yang selalu menerima penumpang lebih banyak pada momen-momen hari raya keagamaan.

MUI sebagai lembaga yang diisi oleh para intelektual di bidang agama, tentu sah-sah saja mengeluarkan fatwa. Namun, MUI juga harus selalu ingat bahwa beragamnya masyarakat di Indonesia tentu akan menimbulkan banyak tafsir atas fatwa yang dikeluarkannya. Akan sangat berbahaya ketika fatwa itu secara spontan dimaknai sebagai landasan untuk umat islam merasa eksklusif dan berujung mengganggu kegiatan-kegiatan keagamaan milik umat lain di Indonesia.

Selain itu, kita sebagai umat islam juga tidak boleh lupa bahwa perihal mengucapkan selamat hari raya adalah hal yang Ijtihadi sehingga tidak boleh ada pihak yang mengklaim pendapatnya sebagai sebuah kebenaran mutlak dan pendapat selainnya adalah salah.

Kita harus bijaksana menyikapi setiap hal yang ada, urusan mau mengucapkan atau tidak sebaiknya dikembalikan kepada pribadi masing-masing, namun tanpa dorongan ataupun paksaan yang memicu perseteruan.

Biarkan yang hendak mengucapkan melakukannya pun yang tidak mau mengucapkan juga silakan tetapi tidak perlu dengan embel-embel mengolok-olok yang berbeda pendapat. Karena sekali lagi ditegaskan, untuk menjadi orang Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu dan agama lainnya tidak pernah sesimple kita mengucapkan selamat hari raya saja.

Yang jelas, sebagai manusia Indonesia kita harus malu apabila berseteru hanya karena perbedaan-perbedaan pendapat yang tidak substantif dan tidak membawa kemajuan untuk bangsa. Manusia Indonesia harus beragama dengan gembira dan tanpa adanya intimidasi dalam bentuk apapun agar Bhinneka Tunggal Ika tidak berubah menjadi Bhinneka Tinggal Asa.

Tags: Fatwa MUIMUIPelita
Dewi Praswida

Dewi Praswida

Terkait

Cyber Counseling Versus Cyber Bullying

Cyber Counseling Versus Cyber Bullying

Oleh Veny Mulyani, M.Psi, Psikolog
12 November 2022
0

Bullying merupakan issue yang marak terjadi di dunia, bukan hanya di Indonesia saja. Bullying atau perundungan diartikan sebagai penindasan atau...

SKB dan Mayoritarianisme yang membelenggu Rumah Ibadah

SKB dan Mayoritarianisme yang membelenggu Rumah Ibadah

Oleh Dewi Praswida
15 April 2022
0

Peristiwa penolakan rumah ibadah telah menjadi cerita usang namun terus di-upgrade di Indonesia. Bukan hanya cara menolaknya yang usang namun,...

Menjunjung Tinggi Agama, Merendahkan Sesama

Menjunjung Tinggi Agama, Merendahkan Sesama

Oleh Dewi Praswida
30 Januari 2022
0

Ahmadiyah merupakan kelompok keagamaan yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad dan Allah SWT serta menjalankan peribadatan sebagaimana yang dijalankan oleh...

Oral-Needed for Dialogue

Oral-Needed for Dialogue

Oleh Syafira Anisa, S.Ag.
10 Januari 2022
0

No peace among the nations without peace among the religions, No peace among the religions without dialogue among the religions,...

Postingan Selanjutnya
Pernyataan Sikap Pelita terhadap Pelarangan Jalsah Salanah JAI oleh Pemkab Kuningan

Pernyataan Sikap Pelita terhadap Pelarangan Jalsah Salanah JAI oleh Pemkab Kuningan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Penulis
  • Kontak
  • Redaksi

© Copyright 2021 Pelita Semarang

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai

© Copyright 2021 Pelita Semarang