Peristiwa penolakan rumah ibadah telah menjadi cerita usang namun terus di-upgrade di Indonesia. Bukan hanya cara menolaknya yang usang namun, pemikiran-pemikiran yang mendorong aksi tersebut pun juga tak kalah usangnya. Mulai dari masjid, vihara hingga gereja mereka semua pernah menjajal perihnya disiram cuka penolakan pembangunan rumah ibadah.
Penolakan tersebut tentu terjadi karena banyak faktor salah satu yang utama adalah pola pikir mayoritarianisme yang menganggap bahwa mereka yang jumlahnya banyak memiliki hak lebih dalam membuat keputusan yang akan berdampak terhadap masyarakat luas. Sikap-sikap tersebut bisa kita lihat mulai dari perumusan kebijakan yang –hampir- semua harus mengacu pada agama yang mayoritas dipeluk masyarakat. Soal label halal-haram misalnya, cara pandang kita juga masih cukup kaku yang hanya melihat halal haram dari sudut pandang agama islam saja padahal setiap agama juga memiliki definisi halal haramnya sendiri namun mau tidak mau semua orang seolah harus mengikuti definisi halal haram dari agama islam saja. Lagi, mayoritarianisme di bulan ramadan seperti pelarangan buka warung, pelarangan makan di depan orang yang sedang berpuasa dan lain sebagainya nampak memaksa mereka yang minoritas harus menghormati yang mayoritas hanya karena mereka tengah berpuasa padahal jauh lebih penting memberikan edukasi kepada yang mayoritas bahwa yang wajib berpuasa adalah mereka dan mereka pulalah yang harus mengatur diri agar dapat melewati segenap ujian dalam berpuasa.
Dari sikap-sikap mayoritarianisme yang sederhana yang selalu punya ‘payung’ tersebutlah kemudian mereka tidak segan-segan untuk mengembangkan sikapnya dalam aksi penolakan pembangunan rumah ibadah milik kelompok minoritas. Mirisnya lagi, sikap mayoritarianisme dalam hal pembangunan rumah ibadah tersebut seolah dilegalkan dengan adanya Peraturan Bersama atau Surat Keputusan Bersama 2 (dua) Menteri tentang rumah ibadah terkhusus pada poin persyaratan harus memiliki persetujuan dari 60 (Enampuluh) warga setempat dan juga rekomendasi FKUB. Perihal persetujuan warga setempat, nampaknya pemangku kebijakan harus mengkaji ulang terutama mempertimbangkan bagaimana sentimen agama tumbuh disekitar tempat tersebut dan pemangku kebijakan juga sudah seharusnya menumbuhkan pemahaman mengenai pluralisme kepada warga setempat agar mereka tidak hanya tumbuh menjadi umat beragama yang khusu’ dalam ibadah ritual namun juga dewasa dalam mensyukuri segenap karunia Tuhan yang berupa keberagaman.
Lagi, masih perihal persetujuan warga, pemangku kebijakan juga harus memiliki penasehat atau ahli yang memahami perihal syarat-syarat internal masing-masing agama untuk mereka kemudian memutuskan mendirikan rumah ibadah. Dalam agama katolik misalnya, untuk dapat berdiri sebuah kapel saja mereka memiliki syarat jumlah jamaah, jarak tempuh, ketersediaan imam, dlsb sehingga untuk pihak gereja memutuskan mendirikan satu saja bangunan gereja tentu syaratnya akan lebih banyak daripada mendirikan kapel yang cakupan umatnya lebih sedikit. Jadi, sebelum mempermasalahkan perihal perijinan yang keluar lihat dulu bagaimana mereka telah berjuang diinternal.
Selanjutnya, adalah terkait rekomendasi FKUB. Bagi saya, FKUB adalah forum yang bagus untuk dapat menjadi kepanjangan tangan pemerintah menghalau tumbuhnya kelompok intoleran namun saya berharap agar dalam hal ini FKUB harus menjadi problem solver yang memudahkan segenap urusan pembangunan rumah ibadah termasuk didalamnya membantu menyiapkan urusan perizinan yang selalu dijadikan alasan untuk menolak. Sebagai kepanjangan tangan pemerintah, FKUB tidak cukup menjadi seperti oknum yang dikit-dikit bilang ‘sudah audiensi…bla…blaa…bla..”. permasalahan rumah ibadah tidak akan pernah selesai dengan audiensi saja, sudah berapa kali audiensi dilakukan namun ujung-ujungnya minoritas tetap kalah. Kita semua perlu mendorong pemerintah untuk terus melakukan upaya edukasi kepada semua kelompok agama untuk mawas diri dan menyadari bahwa keberagaman adalah karunia Tuhan yang harus diterima tanpa tawar menawar.
Sikap mayoritarianisme, selain punya ‘payung’ dari sisi kebijakan pemerintah juga nyatanya mereka –pemilik sikap tersebut- kerap melegalkan aksinya dengan dalih dalih agama yang mereka pahami. Saya tentu tidak menolak bahwa ada hal-hal yang absolut yang diyakini dalam agama. Pun, saya juga tidak memungkiri bahwa sebagai umat beragama, kita wajib meyakini bahwa yang kita yakini itu adalah yang benar namun jangan lupa bahwa agama khususnya adalah agama islam yang saya yakini telah memperingatkan pengikutnya untuk tidak boleh mengolok-olok sesembahan milik orang atau agama lain sehingga dalam hal ini saya cukup dalam tataran meyakini milik saya benar dan orang lain berhak pula meyakini agamanya yang benar.
Pemahaman tersebut sangat penting diterapkan terlebih kita tinggal di Indonesia, negara yang tidak hanya kaya akan sumberdaya alam namun juga kaya akan berbagai keragaman termasuk didalamnya adalah ragam cara menyembah yang kuasa. Dengan latarbelakang negara seperti Indonesia, sikap-sikap kaku dan egois dalam beragama tidak akan pernah relevan diterapkan karena justeru hal tersebut akan semakin menampakkan citra buruk bagi agama tersebut dan tentunya menambah catatan buruk tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Penolakan rumah ibadah dan berbagai sikap mayoritarianisme lainnya tidak pernah cukup untuk diselesaikan satu pihak saja. Kelompok-kelompok agama dan masyarakat harus berkenan untuk menjalin kerjasama yang dengan pemerintah pun sebaliknya pemerintah jangan segan-segan menjalin kerjasama dengan mereka untuk terus menciptakan iklim beragama yang tidak hanya berhenti dalam tataran saling menghargai namun melaju pesat lebih jauh kedalam tataran gotong royong saling mengisi satu sama lain.





