Writy.
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Writy.
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Writy.
Pelita dan Inisiasi-inisiasi Perdamaian dari “Bawah” di Kota Semarang

Pelita dan Inisiasi-inisiasi Perdamaian dari “Bawah” di Kota Semarang

Dr. Tedi Kholiludin, M.Si. Oleh Dr. Tedi Kholiludin, M.Si.
7 Januari 2022
di Bunga Rampai
0
Share on FacebookShare on Twitter

Meski sejak era reformasi ada tiga peristiwa yang memicu pelibatan masa yang besar (penolakan Gereja Isa Almasih/GIA dan dua kali penolakan Hari Asyuro pada 2016 dan 2017), tetapi saya mencermati bahwa kejadian itu tidak tergolong kedalam kategori konflik komunal, atau bahkan sampai menyebabkan kerusakan besar seperti kejadian tahun 1980. Situasi tersebut tentu saja menunjukkan keadaan yang tidak kondusif, tetapi jika dicermati dari efek yang ditimbulkan dan kekhawatiran membesarnya konflik, maka kejadian-kejadian di Semarang bisa dikatakan berhasil dilokalisir.

Langkah untuk bersama-sama mengembangkan upaya perdamaian diantara pelbagai kelompok etnis dan agama bukannya tidak diinisiasi. Beberapa nama beredar sebagai institusionalisasi dari upaya-upaya membangun harmoni tersebut. Sebut saja misalnya, Forkagama (Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama), EIN institute, Pelita (Persaudaraan Lintas Agama) dan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA). Lembaga-lembaga keagamaan juga memfasilitasi organnya dengan unit yang berkaitan dengan hubungan antar iman, seperti Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) Keuskupan Agung Semarang. Departemen ini yang menjadi representasi dari Gereja Katolik dalam urusan eksternal, khususnya dalam pergumulan lintas iman.

Baca Juga

Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Menyalakan Pelita

Inisiatif untuk membangun perjumpaan-perjumpaan intens, bisa dikatakan sangat kecil, baik itu yang berasal dari kalangan struktur, maupun juga di ranah akar rumput. Kalaupun ada, itu terjadi secara personal dan tidak selalu merepresentasikan latar belakang kultural mereka. Saya dan Rony Chandra Kristanto misalnya. Tahun 2007 kami memulai kerja-kerja yang agak intens dengan menyasar pemuda lintas iman di Kota Semarang. Sebelumnya, saya dan Romo Aloysius Budi Purnomo dari Keuskupan Agung Semarang sudah memulainya dengan membuat kegiatan-kegiatan kecil. Bersama Lukas Awi Tristanto, Romo Budi memandegani Majalah Inspirasi. Saya dan teman-teman di ELSA sejak tahun 2005 telah turut aktif dalam menyebarkan gagasan-gagasan tentang multikulturalisme, moderatisme dan kebebasan beragama melalui sebuah media masa. Karena saat itu Rony sedang bekerja di GIA, maka relasinya kemudian menjadi agak sedikit mengerucut; Kristen-Katolik-Muslim, mengingat anggota ELSA yang semuanya berafiliasi kepada NU meski mereka tidak merepresentasikan struktur.

Dalam banyak kesempatan, gerbong ini berkesempatan mengisi lintasan dialog lintas iman di Semarang. ELSA dan HAK mendukung penuh pelaksanaan live in pemuda lintas agama yang diinisiasi oleh Rony Chandra Kristanto melalui kegiatan “Pondok Damai”. Aktivitas itu adalah wadah dimana pemuda-pemudi lintas agama saling bertukar pengalaman, berbagai cerita yang menyenangkan dan tidak menyenangkan ketika mereka kali pertama bertemu dengan pemeluk agama lain.

Di Bulan Ramadhan, ELSA bersama Komunitas Persaudaraan Sejati (Kompers), elemen pemuda yang dibentuk oleh HAK turun ke jalan membagi-bagikan nasi bungkus untuk mereka yang akan berbuka puasa. Kegiatan yang dilaksanakan setiap tahun , merupakan wujud nyata tentang pengamalan ajaran sosial gereja bagi umat Katolik dan sebagai bentuk tambahan ibadah bulan Ramadhan bagi umat Islam. Tak hanya itu, ELSA dan HAK juga sering menginisiasi kegiatan aksi turun ke jalan untuk merespon isu-isu tertentu. Kompers dan HAK, kerap menggelar diskusi regular. Mereka menyebut diskusi itu dengan Angkringan Glenak-Glenik. Untuk tema-tema tertentu, HAK sering mengundang eLSA untuk terlibat sebagai narasumber dalam diskusi tersebut. Kegiatan ini didesain secara informal tetapi diharapkan memiliki sumbangsih yang kontributif terhadap penguatan masyarakat sipil. Di tahun 2012, beberapa elemen di Kota Semarang bersama-sama merespon (baca: menolak) rencana deklarasi salah satu ormas keagamaan yang potensial merusak harmoni masyarakat Semarang. Karenanya mereka mendeklarasikan “Lilin Perdamaian Untuk Semarang Tanpa Kekerasan”. Berbagai aksi teatrikal, pembacaan puisi dan nyanyian ditampilkan untuk mengingatkan tentang pentingnya menjaga harmoni dan kebersamaan.

Tonggak penting yang ditancapkan dalam linimasa gerakan perdamaian di Semarang adalah terbentuknya Persaudaraan Lintas Agama (Pelita). Ide ini muncul pasca penolakan kegiatan Sahur Bersama Ibu Sinta Nuriyah Wahid di Gereja Katolik Petrus Raja, Ungaran Kabupaten Semarang.[1] Pelita tidak merupakan institusi resmi berbadan hukum. Ia adalah konektor yang berperan menghubungkan satu elemen dengan elemen lain yang memiliki sikap sama dalam hal penghargaan terhadap keragaman. Seperti yang saya singgung di bagian awal tulisan, bahwa kelompok-kelompok pro toleransi sejatinya cukup banyak, tetapi mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya. Masalahnya, dengan begitu, bukan pada ketiadaan pegiat pro toleransi, tetapi tidak terhubungnya mereka satu dengan lain. Pada sisi inilah Pelita memainkan peran.

Organ ini, tidak memiliki struktur paten. Kegiatan yang secara reguler dilakukan adalah sebagai updating aktivitas dan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada di Semarang. Mereka sendiri juga melakukan kegiatan; terkadang bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang ada, atau membuat aktivitas sendiri. Umumnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan Pelita lebih bernuansa seni dan kebudayaan sebagai instrumen menjangkarkan perdamaian. Pelita lebih memilih untuk melakukan diskusi-diskusi kecil, ketimbang seminar yang besar.

Peran Pelita yang cukup penting dan selama ini belum dilakukan secara intens oleh organisasi masyarakat sipil di Semarang adalah kemampuan untuk berdialog dengan elemen-elemen pemerintah; Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kepolisian dan lain-lain. Proses-proses advokasi kebijakan yang dilakukan oleh Pelita, juga lembaga yang terhubung dengannya, karenanya lebih mudah dikerjakan. Situasi yang memungkinkan dilakukannya kerja-kerja advokasi oleh Pelita seperti ini adalah karena organ ini terdiri dari individu, bukan lembaga. Tidak semua person yang ada di dalamnya mengikutsertakan lembaga dimana mereka bernaung. Langkah mereka karenanya lebih dinamis.

Di Semarang pula, beberapa kelompok atau individu yang diindikasi kerap menyebarkan semangat eksklusivitas, ditolak kehadirannya. Ini terjadi pada rencana Universitas Islam Sultan Agung yang hendak mengundang Felix Siauw untuk datang dan menjadi narasumber disana pada Juni 2017.Felix dianggap sebagai salah seorang yang dekat dengan Hizbut Tahrir Indonesia. Hal yang sama dilakukan terhadap rencana kedatangan Sugi Nur Raharja alias Gus Nur, di Ponpes Tanfidz Qur’an dan Majelis Dzikir Karomah 13 Semarang, Minggu 15 September 2017.

Pada 2017, Front Pembela Islam (FPI) hendak kembali mendeklarasikan diri di Kota Semarang dan beberapa wilayah di Jawa Tengah, setelah 5 tahun sebelumnya sempat mengupayakan hal tersebut. Namun, penolakan kembali terjadi. Deklarasi FPI yang sedianya akan dilakukan di Rumah salah satu pengurus, 13 April 2017, akhirnya urung dilaksanakan. Peristiwa serupa terjadi pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Aparat Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Semarang membubarkan acara Masyirah Panji Rasulillah yang digelar DPD Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Tengah (Jateng) di Hotel Grasia, Semarang, Minggu (9/4/2017) malam. Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol. Abiyoso Seno Aji, beralasan acara itu mengancam kerukunan umat beragama di Semarang karena rawan bentrok fisik antara massa HTI dan organisasi masyarakat (ormas), seperti GP Ansor maupun Laskar Merah Putih.

Inisiatif-inisiatif untuk menguasai ruang publik Semarang agar tetap dominan warna kebhinekaannya, agak menguat sejak 2012 saat momentum hendak dideklarasikannya FPI. Ini tidak berarti bahwa Sejak itu, kepekaan untuk tetap menjaga Semarang sebagai kota yang harmoni terus diupayakan. Mereka yang terlibat di dalamnya, memang tidak selalu membawa elemen strukturalnya, artinya ada yang terlibat dengan hanya mengatasnamakan person. Namun, tidak sedikit lembaga yang menggabungkan diri secara institusional, memang memiliki nilai perjuangan yang sama.

Negative Peace dan Positive Peace

Jika mencermati dinamika konflik dari 2012-2017, maka kita mendapati bahwa ada ruang yang tengah dipertarungkan. Pertarungan ruang dilakukan untuk mendapatkan kapling identitas. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang sedang berjuang mengatasnamakan agama karena dalih penodaan, penistaan dan sebagainya, tetapi di sisi lain, juga ada penolakan yang dilatari oleh rekam jejak sebuah kelompok yang dianggap intoleran, anti terhadap keragaman dan seterusnya.

Pola yang dikembangkan oleh mereka yang menolak kelompok plural biasanya dimulai dengan protes. Pihak keamanan atau aparat pemerintah kemudian memanggil kelompok-kelompok yang terkait, yang menolak dan ditolak, dalam sebuah meja mediasi. Dan kebanyakan, keberhasilan kelompok penekan ada di meja ini. Yang ditolak, biasanya kemudian mengalah atau ter(di)kalahkan lebih tepatnya. Caranya, dengan memindahkan tempat kegiatan yang dianggap sebagai win-win solution. Acara tetap digelar, tapi tidak di tempat yang semula direncanakan panitia. Lingkaran diatas adalah pola yang berulang dalam setiap kasus penolakan kegiatan-kegiatan bernuansa agama di Kota Semarang (dan mungkin juga terjadi di kota-kota lainnya). Menariknya, argumentasi yang dibangun oleh mereka yang tidak sepakat, bukanlah latar yang bersifat legal. Alasannya selalu diambil dari satu sudut sempit pandangan keagamaan.

Peringatan Asyuro ditolak karena Syiah dianggap sebagai aliran sesat. Alasan sama digunakan untuk penolakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyyah. Pork Festival juga ditolak karena berseberangan dengan semangat Semarang yang religius. Begitu halnya dengan kegiatan Cap Go Meh yang sedianya akan dilaksanakan di pelataran Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Karena masjid adalah tempat yang sakral, menyediakan ruang untuk kegiatan di luar komunitas Islam dianggap meruntuhkan marwah tempat suci itu. Ada banyak spekulasi yang dilemparkan untuk menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam kasus Cap Go Meh dan Pork Festival, dugaan untuk membangkitkan sentimen anti Tionghoa yang paling sering dilemparkan. Beberapa kalangan juga melihat bahwa ini sangat terkait dengan situasi dan dinamika yang terjadi di Jakarta yang kemudian turut memantik reaksi mereka yang di luar Jakarta, termasuk Semarang. Dan ada juga yang melihat ini sebagai ekses dari dinamika politik global.

Penolakan terhadap kalangan Islamis (mereka yang menjadikan Islam sebagai jargon perjuangan politik), sejatinya adalah fenomena baru. Pada masa orde baru, atau setidaknya satu dasawarsa setelah reformasi, konflik bernuansa rasial atau agama, tidak terjadi di Semarang (mengecualikan kasus GIA Karangroto 2005). Kelompok-kelompok Islamis baru mencari panggung secara terbuka di lima tahun terakhir sejak 2012. Dan mereka memeriahkan panggung tersebut dengan menggunakan strategi negasi; menolak atau mengkritik yang lain, untuk mengukuhkan jatidirinya. Karena jalan untuk menguasai ruang publik Semarang terlampau terjal (Semarang sendiri sudah merupakan wilayah dengan nilai keragaman yang cukup kuat), akhirnya cara yang digunakan adalah dengan menegasi yang lain. Kemunculan kelompok agamis tersebut bisa menjadi tantangan untuk tetap mempertahankan ruang agar tidak seragam. Di luar itu, posisi Semarang sebagai ibu kota propinsi, menjadi daya tarik sendiri. “Berpanggung” di Semarang, tentu beda dengan di kota-kota kecil. Sorotan mata akan lebih banyak tertuju kepada mereka yang ada di Kota Semarang. Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika magnet Semarang, menarik mereka yang ada di kota atau wilayah satelit seperti Demak, Ungaran, Kendal atau Temanggung. Bahkan dalam kasus penolakan peringatan Asyuro, masa datang dari Magelang, Solo dan lainnnya.

Di luar dua hal (posisi sebagai ibu kota dan kemudian menarik mereka di wilayah satelit) tersebut, tiadanya kebudayaan dominan, kemudian menempatkan Semarang sebagai area kontestasi budaya. Mereka yang memiliki identitas budaya atau agama, ikut terlibat dalam upaya untuk “berebut” Semarang. Kelompok Islamis ini tengah berupaya kuat untuk “merebut” Semarang dengan cara-cara yang biasa menjadi polanya; demonstratif, konfrotatif dan sloganistik.

Di masa reformasi, konflik rasial dan agama, hanya terjadi pada tahun 1980-an. Meski itu merupakan dampak dari kerusuhan yang terjadi di Solo, tetapi kejadian di Semarang tidak bisa serta merta dianggap sebagai imbas. Karena jika kohesi sosial dalam pengertian luas itu terjaga, sejatinya hal tersebut juga bisa diredam. Ini bisa dibandingkan dengan kasus tahun 1998. Ketika situasi transisi menuju reformasi menyebabkan banyak konflik di pelbagai wilayah termasuk Solo, Semarang tidak terkena imbas. Pengakuan Tubagus Svarajati, yang pada tanggal 20 Mei 1998 mengambil gambar di sekitar kantor Gubernur Jawa Tengah, masa yang menyemut sama sekali tidak melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, diatas panggung, tiga orator yang berlatar etnis Tionghoa mengobarkan perlawanan terhadap orde baru. Sementara di kota Solo, rumah dan toko milik orang Tionghoa justru menjadi sasaran amuk masa.

Secara kultural, orang-orang di Semarang, pada dasarnya adalah mereka yang bisa duduk bersanding berdampingan. Beberapa elemen sosial dan kebudayaan ditengara menjadi faktor pendukung mengapa toleransi bisa terjaga. Keadaan ini setidaknya menunjukkan bahwa, di Semarang tidak ada yang bisa mengklaim sebagai pemilik kebudayaan Semarang, karena sering kita dapati, klaim-klaim kebudayaan kerap hadir dalam pelbagai bentuknya, termasuk agama. Di Semarang, klaim kebudayaan tertentu tak bisa mendapatkan ruang, ketika pada saat yang sama, klaim yang ia tunjukkan hadir untuk menafikan kebudayaan lainnya. Tiket untuk bisa mendapatkan kapling di Semarang adalah tidak menegasikan yang lain.

Jika dicermati, ada pergeseran di level harmoni yang tercipta pada masa orde baru (mengecualikan kerusuhan anti Tionghoa 1980) hingga satu dasawarsa pasca reformasi. Pada rentang waktu itu, saya mencermati bahwa konsepsi perdamaian baru terjadi di level, ketiadaan konflik, atau perdamaian negatif. Hakikat perdamaian baru ditemukan pada visi tersebut, belum di level kooperasi atau kerjasama yang intensif. Perdamaian negatif terjadi karena secara faktual, kita tidak menemukan konflik yang terstruktur, ataupun konflik komunal. Tidak ada dua kelompok yang berhadap-hadapan dan saling menegasikan. Keadaan relatif terjaga dengan baik. Namun, disaat yang sama, perjumpaan diantara kelompok-kelompok kebudayaan itu juga tidak terjalin. Mereka tidak berinteraksi dan juga tidak mengintegrasi. Seperti kata Galtung, sejatinya, perdamaian negatif belum cukup mampu menumbukan kepercayaan satu dengan lainnya. Akan sangat mungkin prasangka itu sebenarnya ada dan selalu mencari momentum. Konflik tahun 1980, bisa dikategorikan sebagai salah satu imbas dari perdamaian yang tebatas diartikan sebagai absennya kekerasan. Struktur kesadaran tentang pentingnya membangun perdamain positif masih belum terbangun. Di sisi lain, pemerintah lebih banyak menerapkan pendekatan berbasis stabilitas dan keamanan (security based).

Pada masa awal reformasi, penghargaan terhadap keragaman masih terlihat meski ruang perjumpaan secara intens juga belum diciptakan secara sengaja dan berkelanjutan. Hubungan kebudayaan antara elemen-elemen kelompok agama memang masih dalam taraf negative peace atau nature peace, belum mengakar dan bergerak menuju sebuah cultural positive peace.

Pertanyaannya kemudian, apakah situasi pra 2010 dengan sesudahnya memiliki “kualitas perdamaian” yang sama?

Seperti saya katakan, Pelita memiliki tempat khusus dalam linimasa gerakan masyarakat sipil untuk perdamaian di Semarang. Sejauh ini peran yang dimainkannya cukup baik. Kelompok-kelompok yang selama ini tidak saling mengenal, bisa bersua satu dengan lainnya. Tak hanya kerja-kerja kolaboratif, tetapi kelompok tersebut menyerap pengetahuan satu dengan lainnya. Meski begitu, saya tidak bisa terlampau cepat mengatakan bahwa kehadiran Pelita telah menggeser kualitas perdamaian; dari negatif ke positif.

Tetapi upaya-upaya tersebut setidaknya sudah menjadi bagian dari kesadaran bahwa perdamaian bukan hanya sekadar absennya kekerasan tetapi juga ada dalam tindakan, ucapan, empati (direct positive peace), solidaritas (structural positive peace), dan legitimasi budaya (cultural positive peace).

[1]Koordinator Pelita adalah Setyawan Budi. Lembaga ini yang menjadi penghubung antara satu elemen dengan elemen lain, khususnya dalam isu keagamaan. Laporan tahunan KBB 2016.

Dr. Tedi Kholiludin, M.Si.

Dr. Tedi Kholiludin, M.Si.

Peneliti Senior di YPK Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA); Kontributor ide di Persaudaraan Lintas Agama (Pelita)

Terkait

Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Oleh Rm. Aloysius Budi Purnomo, Pr
2 Januari 2022
0

Setiap kali mendengar nama Pelita disebut, hati saya turut menyala oleh sinarnya yang memancar dalam kegelapan. Saya bersyukur boleh mengenal setiap...

Menyalakan Pelita

Menyalakan Pelita

Oleh Pdt. Dr. Tjahjadi Nugroho, M.A.
2 Januari 2022
0

“Tragedi terbesar bukanlah penindasan dan kejahatan oleh orang-orang jahat, tetapi diamnya orang-orang baik menyikapi hal itu” Martin Luther King, Jr....

Kebenaran Dengan Landasan Cinta Kasih

Kebenaran Dengan Landasan Cinta Kasih

Oleh Ws. Andi Tjiok, S.T.
1 Januari 2022
0

Tidak ingat kapan pastinya saya diajak masuk didalam satu group, yang saya pikir adalah hasil dari acara pemuka lintas agama...

Jejak Langkah Bersama Pelita

Jejak Langkah Bersama Pelita

Oleh Dwi Setiyani Utami, S.E., M.Sc.
31 Desember 2021
0

Dalam jendela konstelasi dinamika politik dan sosial bangsa Indonesia, saat ini prestasi tokoh-tokoh bangsa, seperti Presiden Joko Widodo, Sri Mulyani...

Postingan Selanjutnya
Oral-Needed for Dialogue

Oral-Needed for Dialogue

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Penulis
  • Kontak
  • Redaksi

© Copyright 2021 Pelita Semarang

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai

© Copyright 2021 Pelita Semarang