Ahmadiyah merupakan kelompok keagamaan yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad dan Allah SWT serta menjalankan peribadatan sebagaimana yang dijalankan oleh umat islam di Indonesia pada umumnya. Sejak kehadirannya di Indonesia pada tahun 1924, Ahmadiyah telah menciptakan berbagai gejolak di masyarakat. Beberapa orang yang merasa telah mantap dan yakin akan cara berimannya kepada Tuhan menganggap keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sebagai hal yang biasa-biasa saja namun bagi orang-orang yang merasa pemahaman ‘islam’ milik Ahmadiyah tersebut dapat berdampak terhadap keberlangsungan keyakinan mereka, dengan melontarkan dalih sesat dan kawanannya mereka terus memusuhi Ahmadiyah.
Berbicara perihal dogma, teologi atau lebih sederhana lagi yakni berbicara mengenai ‘islam’ maka kita tidak bisa membahas sesuatu yang tunggal. Agama Islam yang wahyunya diterima oleh Nabi Muhammad memang satu tetapi perlu digaris bawahi bahwa tafsir atas ajaran-ajaran islam tidaklah tunggal termasuk tafsir mengenai Putra sang Bunda Suci yakni Isa atau Yesus Kristus yang dimiliki oleh Ahmadiyah yang selain bertentangan dengan paham milik umat Kristiani, pemahaman akan Yesus milik Ahmadiyah juga bertentangan dengan milik umat Islam arus utama yang ada di Indonesia. Selain itu, pemahaman kontroversial lain yang dimiliki oleh Ahmadiyah adalah pemahaman tentang kenabian setelah era Nabi Muhammad. Jemaah Ahmadiyah Lahore meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad yaitu pendiri Ahmadiyah bukan seorang Nabi tetapi Jemaah Ahmadiyah Qadian meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah seorang Nabi.
Paham kenabian milik Jemaah Ahmadiyah Qadian atau di Indonesia dikenal dengan JAI tersebutlah yang menjadi referensi utama penyebab dimusuhinya Ahmadiyah oleh sebagian umat islam arus utama di Indonesia. Tidak hanya ditentang dan dicerca dikalangan akar rumput saja, JAI juga mendapat penolakan melalui dua fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1925 dan 2005 yang intinya menegaskan kesesatan Ahmadiyah. Sebagai sebuah lembaga fatwa yang beranggotakan para ahli agama islam tentu MUI tidak salah, sah-sah saja MUI mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sesat karena pandangan mereka khususnya adalah perihal kenabian yang jelas sudah ditegaskan bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad, saya sebagai seorang pemeluk agama islam yang awam pun meyakini konsep kenabian tersebut namun bedanya, saya tidak menganggap paham kenabian milik Ahmadiyah sebagai sebuah kesesatan karena saya yakin bahwa paham tersebut lahir dengan dasar yang juga kuat karena kalau dasarnya tidak kuat mustahil rasanya JAI akan memiliki pengikut sebanyak hari ini. Selain itu, paham kenabian milik JAI juga tidak berdampak terhadap bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain khususnya adalah yang berbeda, pemahaman kenabian tersebut tidak pernah menjadi dalil untuk JAI berbuat kekerasan baik verbal maupun non verbal, justeru sebaliknya banyak orang berbuat kekerasan terhadap JAI atas dasar paham kenabian milik JAI. Lalu, terkait kesesatan bagaimana? Ya itu biar menjadi urusan JAI bersama Allah SWT.
Kekerasan terhadap JAI tidak sekali atau tiga kali terjadi di Indonesia, kalau mau dirunut mungkin telah puluhan atau bahkan mencapai ratusan penyerangan yang dilakukan kepada JAI mulai dari Peristiwa Cikeusik tahun 2011 hingga yang terbaru adalah yang terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada september 2021 yang diawali dengan pembongkaran bangunan tanpa izin yang digunakan sebagai rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak dan berlanjut hingga dikeluarkannya surat tugas dari Bupati Sintang kepada jajaran PemKab Sintang dan Satpol PP yang bernomor 331.1/0341/SATPOL.PP-C untuk membongkar tempat yang digunakan untuk beribadah Jemaat Ahmadiyah tersebut. Dari berbagai bentuk penyerangan yang dilakukan terhadap JAI kecenderungan alasannya adalah sama yakni anggapan sesat atas paham kenabian milik JAI.
Sebagaimana saya utarakan di awal, saya pun menyadari betul bahwa paham kenabian tersebut sangat bertentangan dengan milik umat Islam arus utama tetapi, sebagai manusia yang lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia mari kita merenungkan kembali terkait keberagaman dan hak asasi manusia. Pastor Aloysius Budi Purnomo, Pr pernah mengatakan bahwa keberagaman adalah DNA bangsa Indonesia yang tidak bisa kita ingkari dan keberagaman di Indonesia cakupannya sangatlah luas tidak sebatas keberagaman agama saja lalu, mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia pada khususnya telah banyak diupayakan payung hukum untuk melindungi hak-hak tersebut khususnya adalah Hak Beragama dan Berkeyakinan. Tindakan manusia dalam beriman kepada sang pencipta menjadi sesuatu yang tidak bisa dibatasi oleh apapun termasuk hukum positif. Hukum positif seyogyanya hanya mengatur bagaimana pemahaman agama manusia tersebut berdampak terhadap interaksi mereka antar sesama. Misalnya, paham keagamaan yang meyakini bahwa untuk masuk surga harus berjihad dengan cara melakukan aksi terorisme maka disitulah hukum positif harus hadir mengayomi agar tidak terjadi nyawa melayang sia-sia namun, terkait bagaimana manusia memandang Tuhan dan para penerima wahyuNya maka seharusnya itu menjadi forum internum yang tidak dicampuri oleh negara.
Kembali membahas mengenai JAI, bagaimana Jemaah Ahmadiyah Indonesia mengimani perihal kenabian termasuk didalamnya adalah perihal Nabi Muhammad dan Isa Al-Masih biarlah itu menjadi forum internum mereka, terlepas nantinya mereka akan tinggal di surga atau tidak biarlah itu juga menjadi urusan mereka dengan yang punya surga, kita ini hanya sesama manusia yang sedang berjuang menggapai surgaNya maka tidak elok saling menjatuhkan cara orang lain untuk mencapai itu. Paham milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia memang bertentangan dengan paham islam milik saya tapi saya tidak ingin melupakan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang hak-hak beragama dan berkeyakinannya harus dilindungi sebagaimana warga yang lain.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang penduduknya menempatkan agama sebagai hal yang sakral, penting dan tidak bisa dikesampingkan dengan urusan yang lain. Agama-agama di Indonesia dengan berbagai denominasi yang ada didalamnya kecenderungannya adalah mengajarkan kebaikan dan kasih sayang terlebih adalah JAI dimana motto mereka adalah Love for all hatred for none. Bohong besar rasanya ketika kita menggaungkan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia yang bernaung dibawah Pancasila dan UUD ’45 serta bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika tetapi kita menjadi bagian dari tindak kekerasan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.





