Writy.
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Writy.
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Writy.
Menyalakan Pelita

Menyalakan Pelita

Pdt. Dr. Tjahjadi Nugroho, M.A. Oleh Pdt. Dr. Tjahjadi Nugroho, M.A.
2 Januari 2022
di Bunga Rampai
0
Share on FacebookShare on Twitter

“Tragedi terbesar bukanlah penindasan dan kejahatan oleh orang-orang jahat, tetapi diamnya orang-orang baik menyikapi hal itu”

Martin Luther King, Jr.

Kita bangga menjadi orang Indonesia. Negeri ini adalah anugerah indah dari Tuhan; pantas disebut zamrud kathulistiwa. Kekayaan alamnya begitu lengkap, mulai dari tanah yang subur, hutan yang luas, perut bumi yang kaya, lautan yang melimpah isinya, hingga keragaman kehidupan alam. Letaknya begitu strategis, tepat di jalur perdagangan utama dunia. Keragaman budayanya sangat memikat seluruh dunia. Jangan lupakan, bahwa kebanggaan terbesar kita adalah, kita bisa hidup sebagai satu bangsa sekalipun berbeda ras, suku, agama dan golongan – Bhinneka tunggal ika. Bahkan penduduk Nusantara Indonesia ini sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah, rukun, dan penuh adab dalam menjalani hubungan dengan sesamanya.

Sayang sekali, masa-masa belakangan setelah reformasi politik tahun 1998, memunculkan banyak gerakan radikal agama yang menunjukkan wajah garang, sektarian dan tidak toleran. Entah menumpang reformasi yang memang memberikan lebih banyak kebebasan untuk berkumpul dan berserikat dibandingkan masa orde baru, atau memang ada yang mendesain gerakan radikal agama ini untuk mengacaukan tujuan reformasi demi mengamankan elit-elit masa lalu, atau bahkan ada kaitan antara agenda-agenda radikal agama ini dengan gerakan internasional untuk memecah belah Indonesia agar lebih mudah dikuasai sumber daya alamnya. Bisa juga kombinasi dari ketiga hal tersebut, bahwa ada benih radikalisme yang tidak terdidik dengan baik tentang ideologi kebangsaan dalam Pancasila, yang mungkin selama ini benih itu tidak mendapat kesempatan muncul karena kerasnya tangan militeristik orde baru.

Baca Juga

Pelita dan Inisiasi-inisiasi Perdamaian dari “Bawah” di Kota Semarang

Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Benih itu kemudian mekar bersamaan dengan kebebasan yang ditawarkan oleh era reformasi. Tapi pada saat yang sama, elit-elit yang berkepentingan melindungi diri dari perubahan rezim merapatkan diri kepada mereka untuk melindungi tekanan pemerintahan baru yang pasti akan mengutik-utik dosa kemanusiaan dan korupsi masa lalu rezim sebelumnya. Sekaligus benih-benih gerakan radikal ini mendapat akses melalui jaringan internasional untuk mendapat pelatihan, pendanaan, dan alat propaganda, sehingga sadar atau tidak sadar mereka menjadi alat untuk mengoyak kebangsaan yang dibangun para pendiri bangsa Indonesia dahulu kala, dengan sasaran Indonesia yang terpecah belah.

Apapun yang menjadi latar belakang maraknya radikalisme agama di Indonesia setelah era reformasi, hal ini telah menjadi masalah nasional yang harus diperhatikan seksama. Tindakan kekerasan atas nama agama terhadap aliran-aliran minoritas telah memakan korban luka bahkan korban jiwa. Aksi penyerangan dan penutupan rumah-rumah ibadah telah menghilangkan hak asasi dan konstitusional warga negara Indonesia untuk menjalankan agamanya. Bahkan, radikalisme telah menjadi mesin politik yang mengubah agama yang berwajah kasih, menjadi agama yang berwajah kebencian, karena agama telah ditumpangi berbagai agenda politik.

Dalam segala keadaan yang menciptakan mendung kelam dalam kemanusiaan di negeri Pancasila ini, sayang sekali banyak “orang baik” dan “orang waras” yang memilih diam. Mereka menganggap “sing waras ngalah” (yang waras mengalah) sebagai sikap yang tepat, tanpa menimbang bahwa, seperti kata Pendeta Martin Luther King, Jr. di atas, bahwa diamnya orang-orang baik adalah tragedi yang membuat kejahatan orang-orang jahat mendapat pembenaran. Tentu saja kita tidak sedang berbicara mengenai membalas aksi kekerasan dengan aksi kekerasan, atau ujaran kebencian dengan ujaran kebencian. Membalas kejahatan dengan kejahatan hanya akan menciptakan lingkaran kejahatan. Mengubah kejahatan dengan cara yang jahat hanya akan membuat kita yang menjadi penjahat berikutnya. “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Rasul Paulus dalam Surat Roma 12:21). Gelap harus dikalahkan oleh terang, dan terang tidak akan muncul kecuali orang-orang baik menyalakan pelita untuk menerangi kegelapan. “Kamu adalah terang dunia… Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang .. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang” (Yesus Kristus dalam Injil Matius 5:14-16).

Menyalakan pelita berarti memberi keteladanan yang mencerahkan tentang hidup harmonis dan menghargai sesama. Menyalakan pelita berarti mendidik masyarakat untuk menyadari dukacita akibat permusuhan dan sukacita karena kerukunan. Menyalakan pelita berarti memberikan perlindungan, pendampingan dan harapan bagi yang tertindas, mendorong pihak yang berwenang untuk melindungi hak warga negara, sambil menyadarkan mereka yang bertindak salah untuk kembali ke jalan yang benar. Menyalakan pelita berarti memulai dari tindakan yang sederhana dan kecil, untuk membuat pelita-pelita lain ikut menyala, dan kumpulan pelita inilah yang akan menciptakan terang indah sekaligus kuat di tengah kekelaman. Sing waras tidak boleh lagi diam, tapi harus bergerak menjaga bangsa. Ngalahnya sing waras, bukan berarti membiarkan terjadinya kesewenangan, intoleransi dan kebencian, tetapi mencerahkan masyarakat agar berani berpegang pada nilai-nilai kerukunan, keharmonisan, kebangsaan yang sudah melandasi bangsa Indonesia selama ini.

Saya kagum bahwa semua kesadaran ini saya lihat ada dalam gerakan Pelita di kota Semarang. Dalam beberapa kesempatan di mana saya bertemu dengan anak-anak muda yang begitu bersemangat memperjuangkan kerukunan, toleransi dan kebangsaan, saya melihat harapan bahwa Indonesia tidak akan semudah itu dirusak oleh radikalisme atau dipecah belah oleh pihak asing. Saya hadir dalam beberapa kegiatan Pelita, baik itu menyalakan 1000 lilin untuk perdamaian bangsa yang melibatkan komponen masyarakat dari berbagai agama, suku dan golongan di kota Semarang; ikut memberikan refleksi dalam srawung orang muda lintas agama yang menyertakan unsur budaya dan seni dalam merekatkan anak-anak muda dari berbagai agama; ikut memberikan kesan dan pesan dalam rangka peringatan-peringatan haul maupun wafat Gus Dur; mendorong lembaga EIN yang saya dirikan untuk bersama Pelita mempromosikan pluralisme, persaudaraan sebangsa termasuk dengan suku Tionghoa atau suku minoritas lain, dan dialog antar agama yang sehat; mendorong anak-anak muda di lingkungan Gereja Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI) yang saya dirikan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan srawung lintas agama, pertemuan Pondok Damai Pelita, menerima kunjungan Peace Train yang dibawa oleh Pelita, dan hadir dalam dialog-dialog lintas agama yang diselenggarakan Pelita. Dalam usia saya yang semakin lanjut, saya sadar bahwa yang bisa saya lakukan sekarang adalah sebanyak mungkin mewariskan cerita-cerita inspiratif tentang perjuangan merawat bangsa ini dan mendoakan agar generasi yang lebih muda siap merawat keutuhan bangsa ini di masa depan.

Jika membicarakan Persaudaraan Lintas Agama yang menjadi kepanjangan nama dari Pelita ini, tidak bisa tidak, saya teringat sahabat saya yang telah berpulang mendahului saya, yaitu K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebuah persahabatan yang unik karena Gus Dur adalah tokoh Islam dari organisasi terbesar di Indonesia yaitu NU. Saya, Tjahjadi Nugroho, adalah seorang Pendeta Kristen, dari aliran Kristen Unitarian yang kadang kala dianggap berbeda dari arus utama Kristen. Dan seorang sahabat lagi adalah Bingky Irawan, seorang Haksu Konghucu. Kami bertiga sering berbincang-bincang tentang kondisi bangsa hingga masalah agama. Perbedaan kami beragama tidak menjadi halangan kami bersahabat karib, kadang berdebat tentang hal-hal prinsipiil, kadang saling menggoda jika mendiskusikan agama, tetapi tidak sekalipun kami merasa tersekat karena agama. Kami bisa sama-sama memperjuangkan hak asasi dan konstitusional warga negara Indonesia dalam beragama, baik itu memulihkan hak beragama umat Konghucu yang dibungkam selama Orde Baru, membantu pemerintah menjembatani dialog di daerah konflik Maluku dan Poso, menjembatani dialog saat rumah ibadah Kristen atau agama lain hendak ditutup oleh sekelompok ormas yang mengatas namakan Islam, bahkan menjadi utusan pemerintah untuk menyuarakan perdamaian bagi Palestina sebagai bagian dari tim internasional yang berdialog dengan PBB, Amerika Serikat, Palestina dan Israel. Sikap kami dalam beragama dan berbangsa, sepertinya disatukan oleh pendapat Bapak Bangsa Indonesia, Presiden Soekarno, yang pernah berujar : “Kalau jadi hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan budaya Nusantara yang kaya raya ini”.

Dalam perjalanan saya keliling Indonesia dan dalam berbagai kesempatan berkunjung ke berbagai negara, baik ketika pelayanan Gereja atau di Asosiasi Pendeta Indonesia yang saya turut dirikan; atau ketika bersama Gus Dur dalam berbagai kegiatan lintas agama, saya menjumpai bahwa Indonesia benar-benar adalah permata indah yang menjadi rujukan kerukunan dan toleransi beragama. Banyak negara kagum dengan Pancasila yang kita miliki, dan pada dasarnya rakyat dari berbagai suku dan agama di nusantara ini memang gandrung dengan kerukunan dan persatuan. Maka, jika kini Pelita yang lahir di kota Semarang, makin menyala dalam gerakan nyata, saya yakin bahwa jiwa Pelita adalah jiwa rakyat Indonesia; jiwa yang penuh persaudaraan, jiwa yang toleran, jiwa yang baik hati.

Saya berharap Pelita semakin bertumbuh menjadi jejaring lintas agama yang aktif memperjuangkan kerukunan dan toleransi, menjadi tempat berkumpulnya pemikir-pemikir muda lintas agama untuk mempertahankan kebangsaan dan ke-bhinneka tunggal ika-an Indonesia. Barangkali organisasi Pelita perlu lebih dimatangkan agar ke depannya lebih banyak kegiatan yang diproduksi, siapa tahu juga tercipta terbitan-terbitan yang mencerdaskan masyarakat, dan yang utama mencetak kader-kader muda lintas agama yang sadar akan hakikat beragama yang dewasa, mampu bergerak bersama untuk menjaga kerukunan masyarakat, saling menjaga dan melindungi lintas agama, dan menjadi jejaring yang terus menyalakan pelita kesadaran agar agama tetap menjadi berkat dan tidak menjadi kutuk. Agar agama tetap berkiblat pada kasih dan bukan pada kebencian.

Kiranya Tuhan Yang MahaEsa menyempurnakan niat baik kita semua dan melindungi bangsa Indonesia selalu.

Pdt. Dr. Tjahjadi Nugroho, M.A.

Pdt. Dr. Tjahjadi Nugroho, M.A.

Pendeta di Gereja JAGI; Ketua Pembina di Asosiasi Pendeta Indonesia; sahabat Gus Dur

Terkait

Pelita dan Inisiasi-inisiasi Perdamaian dari “Bawah” di Kota Semarang

Pelita dan Inisiasi-inisiasi Perdamaian dari “Bawah” di Kota Semarang

Oleh Dr. Tedi Kholiludin, M.Si.
7 Januari 2022
0

Meski sejak era reformasi ada tiga peristiwa yang memicu pelibatan masa yang besar (penolakan Gereja Isa Almasih/GIA dan dua kali...

Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Oleh Rm. Aloysius Budi Purnomo, Pr
2 Januari 2022
0

Setiap kali mendengar nama Pelita disebut, hati saya turut menyala oleh sinarnya yang memancar dalam kegelapan. Saya bersyukur boleh mengenal setiap...

Kebenaran Dengan Landasan Cinta Kasih

Kebenaran Dengan Landasan Cinta Kasih

Oleh Ws. Andi Tjiok, S.T.
1 Januari 2022
0

Tidak ingat kapan pastinya saya diajak masuk didalam satu group, yang saya pikir adalah hasil dari acara pemuka lintas agama...

Jejak Langkah Bersama Pelita

Jejak Langkah Bersama Pelita

Oleh Dwi Setiyani Utami, S.E., M.Sc.
31 Desember 2021
0

Dalam jendela konstelasi dinamika politik dan sosial bangsa Indonesia, saat ini prestasi tokoh-tokoh bangsa, seperti Presiden Joko Widodo, Sri Mulyani...

Postingan Selanjutnya
Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Pelita Bercahaya dalam Kegelapan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Penulis
  • Kontak
  • Redaksi

© Copyright 2021 Pelita Semarang

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Artikel
  • Berita
  • Aksi
  • Bunga Rampai
  • Pondok Damai

© Copyright 2021 Pelita Semarang